Kemanakah Perginya Musisi Gereja?

“Apakah kakak bersedia membantu pelayanan di gereja kami untuk hari minggu besok?, soalnya kami hanya memiliki satu orang organis, dan saat ini beliau sedang sakit…”

Sungguh ironis, karena hal ini hampir dialami oleh setiap gereja, bahkan hampir setiap minggunya kita hanya melihat orang yang sama yang duduk di belakang papan keyboard…., lantas – bagaimana dengan gereja yang ada di daerah terpencil? …tidak dapat terbayangkan…  dan saya memiliki 2 pertanyaan yaitu :

1. Apa peran mereka (musisi/musik) dalam misa/ibadah?
2. Kemanakah perginya musisi gereja?

Sekian lama, hal ini menyebabkan perang dalam hati kecil saya… semoga gagasan penulisan artikel yang sedikit mengkritisi hal ini, dapat menjadi wadah komunikasi yang diharapkan dapat meminimalisir kesalahpahaman yang mungkin saja sedang atau belum terjadi.

Sejauh pengamatan saya, cukup banyak diantara sekian umat/jemaat, yang sebenarnya ingin sekali melayani sebagai musisi : pemain organ/keyboard/piano atau solois (pemazmur) dll – di Gereja mereka, tetapi apa sebenarnya yang menjadi kendala mereka? Dengan alasan inilah saya memcoba mengumpulkan sejumlah pernyataan dari mereka yang memendam keinginan tersebut, antara lain :

  1. Saya mau, tapi tidak tau cara mengiringi…
  2. Aduh… saya tidak percaya diri (karena hanya tau sedikit cara main kibor)…
  3. Saya bisa bermain kibor, tapi hanya tahu akord-nya saja…
  4. Saya bisa main sih, tapi saya harus latihan dulu…
  5. Wah… kalau langsung disuruh main sambil baca not angka, saya tidak bisa…
  6. … (pikir sendiri apa kendala anda)

Namun, terdapat pernyataan dari sisi yang berlawanan, antara lain :

  1. Ah… sudah ada si “A” kok, ngapain cari orang lagi, dia kan jemaat/umat disini, sudah seharusnya melayani disini…
  2. Ah… sudah ada si “B” kok, ngapain saya harus belajar lagi…
  3. Ah… jemaat/umat sudah diberitahu (sudah membuka pendaftaran pelatihan bagi musisi gereja), tetapi tidak ada yang mau, atau tidak ada yang mendaftar…
  4. … (pikirkan sendiri pernyataan anda)

Ada pro dan kontra, lalu – apa sih masalahnya?, tidak mau? tidak diberi kesempatan?, tidak ada kesempatan?, tidak ada yang membimbing?, atau siapa yang mau membimbing?, atau… kami tidak suka dengan di “C” karena dia begini…., begitu…. dan lain sebagainya, -> silahkan pikir sendiri apa pendapat anda.

Apa peran mereka (pemusik) dalam ibadah/misa?

Apa sebenarnya peranan musik dalam sebuah ibadah/kebaktian/misa dalam gereja?. Musik – dapat berupa doa, ungkapan penyesalan (tobat), rasa syukur, berterima kasih, dan lain sebagainya. Ada sebuah filosofi (silahkan direnungkan sendiri) :

Music is… a higher revelation than all wisdom and philosophy (Beethoven)

Musik, melalu musisi gereja didalam sebuah misa/ibadah merupakan salah satu penghubung antara umat/jemaat dengan Tuhan. Mestinya, musik itu sendiri disajikan “yang terbaik” agar dapat menciptakan hubungan yang romantis antara umat/jemaat dengan Sang Penciptanya.

Faktanya adalah “ah, yang penting saya melayani”, tidak penting apakah dalam bermusik saya/kami berlaku bagus ataupun tidak, yang penting hati sudah melayani. Benar, DIA tidak melihat bagus dan tidaknya, DIA melihat ketulusan hati dalam melayani. Namun, apakah umat/jemaat dapat melihat hati kita saat melayani?, saya rasa tidak semua, dan apa yang dikatakan sebagian besar umat setiap minggunya?

  • “ah, ibadah kali ini tidak berkesan sama sekali”
  • minggu ini koor-nya bagus”;
  • pelayanan minggu ini sang organis mainnya tidak karuan, lebih bagus yang minggu lalu”;
  • ibadah kali ini suasanya hidup sekali” atau “jelek sekali
  • dan… lain sebagainya.

Hehehehe orang pergi ke Gereja untuk mengikuti misa/ibadah? atau mengomentari musiknya?/pemain musik?, khotbah sang pendeta/pastor?, dan petugas gereja lainnya yang dirasanya tidak berkenan? 😀 termasuk saya (maaf jangan tersinggung).

Nah, ketika kita bermusik termasuk dalam kategori jelek (jelek bagi setiap orang berbeda), apakah kita sebagai musisi gereja sudah menjadi penghubung yang baik?. Bagi telinga orang awam, hal ini mungkin tidak dipermasalahkan, tetapi ini menjadi beban bagi mereka sendiri atau mereka yang mengerti akan musik.

Kategori bagus / jelek dalam hal ini jangan dibandingkan dengan musisi profesional. Kategori “Bagus” disini memiliki arti : bisa berjalan dengan baik tanpa tersendat-sendat, atau tidak terdengar seperti “asal” mengiringi (terlepas dari rasa grogi dan lain sebagainya 😀 ). tentunya hal ini membutuhkan proses.

Lantas…, kemanakah perginya musisi Gereja?

Tidak, mereka tidak kemana-mana, mereka hanya “diam” mengikuti pergelutan yang terjadi, kenapa?, dunia sekarang semua serba instan, tidak mau repot, serba cepat, mahal, harus bisa, dan lain sebagainya. “Mereka yang memiliki kerinduan melayani” tidak bisa seperti itu, kasarnya begini : kalau mau, ya beli aja mi instan, 15 menit udah siap saji… => bayar aja pemain musik profesional, 1 jam-pun 10 buah lagu siap di-iringi (maaf … jangan dimasukkan didalam hati yaa, ini hanya sekedar kritik untuk membangun 🙂 piss).

Setua atau sepandai apapun mereka, mereka tetap butuh persiapan dan bimbingan. Tetapi disini, mereka membutuhkan motifator dari tiga  sisi, dari luar (orang lain/pelatih), dari dalam (memotifasi diri sendiri), dan dari pihak Gereja. Ketiga sisi ini harus berimbang, sebab jika hanya bertepuk sebelah tangan, maka – kasarnya saya katakan begini : bisa jadi selama 6 bulan mendapat bimbinganpun – dia hanya bisa menguasai “1 buah lagu”.

Bagaimana dong kalau begitu?

Komunikasi, – ini merupakan hal terpenting yang perlu dibangun dalam sebuah komunitas. Akibat pengetahuan lebih yang dimiliki seseorang dari sesamanya, atau status usia yang lebih tua, komunikasi menjadi hal yang kurang dilakukan sehingga dapat berpengaruh negatif bagi orang sekitar (termasuk yang memendam keinginan untuk melayani), dan akhirnya kita “malas” berkomunikasi.

Pengorbanan waktu dan tenaga dari ketiga belah pihak, dari pelatih musik, mereka yang memendam keinginan untuk melayani, dan dari pihak gereja (pengurus, bagian liturgi, dll).  Sebab yang sering terjadi adalah pengibahan tugas/saling mengharapkan.

Waspada, disini bisa terjadi kesalahpahaman. Antara komunikasi dan pengorbanan menjadi satu bagian, dan ketiga belah pihak disini-pun adalah “satu”. Apa gunanya punya Hand Phone tetapi “malas” memberi tahu rekan kita seperti : kapan latihan, lagu apa saja yang akan dipakai buat ibadah besok/minggu depan, dan lain sebagainya. Sebab ada sebagian Gereja yang hanya mengharapkan pengumuman setiap usai ibadah, untuk memberitahukan sejumlah informasi. Menurut saya ini kadang kurang efektif, maka disinilah komunikasi dan pengorbanan sedikit dituntut lebih.

_______________________________________________________________________

Tulisan ini adalah fakta yang saya kumpulkan. Ini bukan lagi perbincangan baru dalam komunitas Gereja, ini adalah bagian kecil yang seringkali “dianggap sepele”. Akan tetapi, bagaimana kita bisa melakukan hal besar jika hal sepele ini tidak bisa kita atasi?. Jangan jadikan ini sebagai bahan perdebatan yang tidak sehat, tetapi jadikan perbincangan ini sebagai motifasi untuk menjadi lebih baik.

Tulisan terkait – Tips Membentuk Organis Gereja

God Bless You

Hormat Saya

Salam Hormat...., Jika teman-teman ingin merespon atau bertanya, mohon sopan santun serta tata krama dalam menulis yaaah :) , terima kasih atas kunjungannya, semoga bermanfaat.