Diskriminasi Dalam Bidang Seni (Musik)

Guru musik? (seni), Ogah aaaah….. Akhirnya, sekolah pun kebingungan mencari guru musik, kemanakah “mereka”?, ngapain aja para pemusik hebat kita?, terutama yang memiliki dasar pendidikan musik formal maupun non formal?, rupanya, cukup banyak dari mereka TIDAK tertarik menjadi guru, kenapa? : tidak bisa? ataau tidak mau?

Jumlah guru seni (musik) di sekolah?

Bisa dibayangkan?, misalnya sebuah sekolah setingkat SMP/SMA – setiap tahunnya memiliki jumlah minimal murid antara 200 s/d 400 orang, dengan minat dan bakat seni yang berbeda, sedangkan mata pelajaran seni sendiri terbagi atas sejumlah bidang yang berbeda segi pendalamannya dengan bidang seni lainnya, antara lain : seni musik, tari, teater (drama), lukis, ukir, dll…

Nah, jika sebuah sekolah hanya memiliki guru musik, bagaimana satu orang guru musik ‘terpaksa’ menguasai semua bidang seni? demi memenuhi kebutuhan SDM anak dimasa mendatang, ini namanya ‘egois’ (entah siapa yang egois).

Akhirnya mereka yang memiliki pengetahuan seni / musik secara otodidak yang “merasa terpanggil”, akhirnya “dipakai” sebagai pengajar musik (seni) di sekolah-sekolah, semestinya, merekalah yang harus lebih dihargai. Why?, ya iya dong, merekalah yang lebih banyak melakukan sesuatu yang belum dilakukan di sekolah tersebut. Namun, apa yang terjadi?, apa alasannya?, ijazah dan akta mengajar?. Bahkan orang yang berijazah dan beraktapun belum tentu bisa mengajar lebih baik daripada mereka. Sementara menjadi seorang guru musik?, memiliki tuntutan yang sangat berat.

Berpengetahuan Mengajar Dan Bermain

Ada artikel menarik dari sebuah majalah musik, yang ditulis oleh William Leyland dengan judul : ‘Berpengetahuan Mengajar Dan Bermain’, beliau mengatakan :

“Sebagai pengajar, kita perlu mengetahui bahwa memberikan pengajaran musik di sekolah seharusnya didasari oleh ‘penguasaan pengetahuan’ dan ‘keterampilan’ dalam musik. Seorang guru musik harus mengetahui bagaimana memainkan dengan baik ’alat musiknya’, dan bagaimana mengajarkan orang lain untuk juga bisa melakukannya. “Walaupun ada sementara anggapan yang mengatakan bahwa antara ‘mengajar’ dan ‘bermain’ musik adalah dua bidang keahlian yang berbeda.

Tuntutan seorang guru musik, jauh lebih besar daripada pemain musik. Seorang pemain musik yang baik, tidak harus bisa mengajar dengan baik, karena faktanya adalah, banyak pemain musik yang baik, yang me­mang tidak bisa atau tidak berbakat mengajarkan musik. ‘Tetapi ketika Anda memutuskan untuk menjadi pengajar musik, Anda bukan hanya dituntut untuk bisa mengajar den­gan baik, tetapi sekaligus bermain dengan baik. Ini dua hal yang tak bisa dihindari. (Leyland – Menjadi Guru Musik Yang Baik dan Berhasil. Staccato –Majalah Edukasi dan Informasi Musik. Edisi Agustus 2009. Sidoarjo : Media Profesional, 2009)”.

Hmmm … inipun berlaku untuk semua bidang seni.

Hiburan? atau Pendidikan?

Saya sependapat dengan pak Leyland, tuntutan seorang guru musik sangat berat. Setelah bertemu dengan sejumlah pemusik hebat (termasuk juga mereka yang memiliki dasar pendidikan musik formal), cukup sering saya mendengar alasan yang sama dari mereka, yakni “aduh, saya tidak bisa/tidak bakat mengajar”… ??? BENARKAH?. Saya terus bertanya, rasanya ada yang aneh pada jawaban mereka. Dibalik kata “tidak bisa”, ternyata pemusik hebat ini memiliki seorang atau dua orang murid privat di rumahnya, benarkah dia tidak bisa?… SALAH, pada dasarnya, mereka bisa, tetapi . . . sebenarnya ada ungkapan yang tidak pernah terungkap langsung dari bibir mereka :

“ bagaimana kami dan bidang kami dipandang? ”

“ bagaimana seorang ‘guru seni’ (musik) dipandang? “

Memang benar, mereka adalah pemain musik, yang lebih mencintai dunia hiburan musik (bisnis), yang akhirnya lebih menjadi dunia mereka, karena dunia ini “lebih menghargai” profesionalitas mereka sebagai penyaji musik (termasuk dari segi upah), dibandingkan dunia pendidikan (sekolah) dan sebagian masyarakat yang memandang pelajaran musik (seni) hanyalah “selingan” dan “hiburan” bagi siswa siswi, supaya tidak jenuh, bukan sebagai pendidikan.

Selingan ?, murahan sekali yah!?

Padahal, banyak sekali unsur serta nilai pendidikan yang terkandung didalam seni (musik) yang tidak diketahui, atau mungkin tidak disadari, atau tidak mau disadari. Seperti etika, disiplin diri, disiplin waktu, menghargai waktu, ketelitian, ketekunan, kesabaran, dan lain sebagainya.

Diskriminasi pendidikan musik berdampak positif bagi bisnis musik, tetapi tidak untuk keu angan rumah tangga.

Sebuah contoh. Dalam dunia pen didikan, ternyata masih banyak sekolah lebih mementingkan memban gun sebuah “lab kimia” daripada sebuah “lab musik”/”lab seni”. Contoh nyata lainnya : untuk sebuah olimpiade TIK (komputer), atau olimpiade matimatika, sebuah sekolah berani mengeluarkan dana besar (jutaan rupiah) untuk membayar dosen (dari luar pihak sekolah) untuk memberi bimbingan pada siswa/i sekolahnya (yang ternyata tidak menghasilkan apapun), daripada harus membayar lebih kepada guru TIK disekolahnya sendiri, yang sebenarnya “jika dipercayakan”, lebih berpotensi daripada para dosen luar tadi?; Sedangkan kegiatan seni yang telah turut sering mengharumkan nama sekolah? (didaerahnya), sering sekali guru seni sendirilah yang harus merogoh kantongnya demi membiayai sejumlah kebutuhan siswa dalam mengikuti kegiatan tersebut.

Nah, ini hanyalah segelintir contoh kecil dan nyata yang terjadi…, memang inilah dilema dunia pendidikan, ini merupakan suatu bentuk diskriminasi yang rasanya telah menjadi kebijakan umum.

Hmm… saya menarik sebuah kesimpulan bahwa

kita lebih menghargai sesuatu yang berskala nasional daripada sesuatu yang berskala lokal, atau kita lebih mementingkan hal besar daripada hal kecil dan sepele. Padahal, yang nasional, dahulunya hanyalah lokal, yang besar itu dahulunya kecil.

Akhirnya, para pemusik hebat tadi lebih memilih untuk bergelut pada dunia bisnis, salah satunya tempat kursus musik, sanggar seni, dsb, daripada harus bergelut pada dunia pendidikan formal disekolah.

Dampaknya, pendidikan musik non formal dinilai mahal, dan tidak sedikit para orang tua (cukup mampu) yang mengeluh ketika menghantarkan anaknya untuk mengikuti kursus musik disebuah sanggar/tempat kursus, karena orang tua harus membayar dua kali bahkan tiga kali lipat lebih mahal daripada biaya sekolah tiap bulannya, hanya demi mengembangkan ‘minat dan bakat’ yang menjadi ‘hiburan’ bagi anak tercintanya.

Saat ini memang demikian adanya, belajar musik bukan lagi bertujuan untuk mendidik, melainkan untuk berbisnis. Yap, diskriminasi menjadikan peluang besar dalam berbisnis, dengan salah satu tujuan terselubung agar seni dapat dipandang, dikenal, dan dipahami dengan kedua belah mata.

Hanya mengenal ? lalu? Siapa yang mau menuntun mereka mengembangkan talenta mereka?

Ketika pertama kali (2008) memandang kurikulum pendidikan lewat buku-buku pelajaran seni (musik) tingkat SLTA, saya langsung menilai bahwa kurikulum pendidikan musik di indonesia masih lebih mengutamakan pengetahuan musik (seni) secara umum dibandingkan pengembangan minat dan bakat (talenta) anak secara spesifik.

Dari sejumlah buku pelajaran sekolah yang membahas tentang musik, terlihat jelas bahwa yang penting anak mengenal sedikit tentang notasi balok, sedikit tentang teori musik, sedikit tentang sejarah (jaman barok, klasik atau modern, dll), sedikit tentang membuat lagu, sedikit tentang aransemen… dll

S E D I K I T ?

Saya pernah mendapat suatu pernyataan dari seorang guru senior di sebuah SMU, kebetulan bukan guru bidang musik. Beliau mengatakan “yah memang begitulah tujuannya, yang penting murid mengenal secara umum”… sambil mengangguk tanda mengerti, saya hanya dapat mengela nafas panjang tanpa berkata-kata, namun berpikir…

Bagaimana mungkin mereka dapat menghargai Seni sedangkan mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengenal dengan baik Talenta Seni apa yang ada dalam diri mereka? :

musik?, tari?, lukis?, ukir?, teater?

Seorang musisi (Seni), ilmuwan, dokter, bidan, politikus, maupun bidang kehidupan lainnya adalah sama, yakni disebut dengan talenta, perbedaannya hanya terletak pada nama dan tempat dalam berkarya. Talenta seseorang harus dikembangkan dan diberikan, bukan dipendam untuk diri sendiri, ataupun di diskriminasikan.

Belajar musik (seni) tidak berarti akan menjadikan musik (seni) sebagai pekerjaan seseorang

tetapi lebih menunjukkan siapa dirinya

_____________________________________________

Topik terkait :

Hiburan dalam Pendidikan atau Pendidikan dalam Hiburan?

Ini Tantangan atau Kutukan

Katanya Seni Adalah Penyeimbang Dalam Pendidikan, Benarkah?

Salam Hormat...., Jika teman-teman ingin merespon atau bertanya, mohon sopan santun serta tata krama dalam menulis yaaah :) , terima kasih atas kunjungannya, semoga bermanfaat.